Jakarta/ 04/10/2022- Fakultas Ilmu Sosial menghadiri undangan Ikatan Alumni Universitas Negeri Jakarta, dalam acara yang bertema, “Quo Vadis Penegakan Hukum Sebagai Instrumen Utama Pembangunan di Papua”. Kegiatan ini diselenggarakan secara luring, di Ballroom Lt. 7 Hotel Acacia Salemba, Jakarta Pusat, pukul 14.30 s/d 17.00 WIB pada Jumat, 30 September 2022. Acara ini bertujuan untuk mengetahui fakta-fakta hukum dan sosiologis pembangunan serta kesesuaian antara prinsip NKRI. Acara  dihadiri oleh 100 mahasiswa/i yang terdiri dari 60 orang dengan luring di acara.

Acara dibuka oleh master of ceremony, Naila Nurhaliza dan Luthfi Fazli dari DUTA FIS UNJ.. 

Agenda selanjutnya, yaitu sambutan dari panitia acara Debi Tiara Wulandari,  dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Direktur Eksekutif HSI, Dr. Rasminto memoderatori  diskusi panel dibawakan oleh tokoh agama pada Sinode GKI Papua, Albertus Yoku, S.Th., yang hadir secara daring, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, Prof. Dr. Suparji Ahmad, Pakar Hukum dan Ketua Umum Peradin, Dr. Firman Wijaya, SH., MH., Aktivis Papua, Charles Kossay, dan Pakar Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta, Dr. Abdul Haris Fatgehipon, M.Si.

Diskusi dibuka dengan membahas, “Bagaimana kebijakan hukum sebagai daktor utama pembanguan di Papua”, yang dimulai dari, Albertus Yoku, S.Th., beliau menjelaskan beberapa keadaan yang ada di Papua. Masa lalu, kondisi orang asli Papua itu kondisi pada tingkat kehidupan yang diatur melalui pemerintahan dan masing-masing wilayah mempunyai kedudukan dan yang mengatur wilayah mereka. Suku di Papua memiliki pemimpin dan wilayah adat yang mengatur tatanan kehidupan, yang menjadi budaya mereka. Beliau juga menjelaskan, bahwa kehidupan orang asli Papua masa itu aman dan damai, memberi 2 pelajaran, yang pertama mengedukasi kami dan membangun kami secara religius, jadi pembangunan yang diawali dengan religius dan edukasi diterima penuh dengan suka cita oleh masyarakat Papua, misalnya sekolah dan klinik, seluruh rakyat penduduk di pedalaman mengerjakan secara manual dan infrastruktur itu menjadi kekayaaan. Hukum itu harus dibangun dalam hukumnya sendiri, membangun sebagai motivator.

Dilanjutkan dengan tanggapan dari Dr. Firman Wijaya, SH., MH., beliau menanggapi, pendekatannya menggunakan pendekatan perspektif bangsa. Dilanjutkan oleh penyampaian materi dari Charles Kossay, terkait bagaimana kondisi fakta masyarakat yang termobilisasi proses pendekatan hukum yang ada di Papua itu sendiri. Beliau menyampaikan, “2001 sampai dengan 2021 selama 20 tahun, pembangunan tidak terlihat signifikan karena pengaruh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan pribadi. Akhirnya 2021 kemarin revisi tentang UU No. 22 Tahun 2021 dengan penambahan dana sebesar 2,25%, yang naiknya sangat signifikan untuk pembangunan ditanah Papua dulu. Tapi masih ada saja oknum yang membuat korupsi. Korupsi di Indonesia ini tidak bisa maju, apa lagi kita di daerah timur Indonesia, dan kita sama-sama mendorong pendekatan kultur.”

Dalam diskusi panel tersebut, Dr. Abdul Haris Fatgehipon, M.Si, memberikan tanggapan dan penyampaian puisi, yang berisi, “Nasihatku kepada anak bangsa setelah kami. Menjadikan rumah Indonesia sangat mahal harganya, mari kita jaga bersama agar rumah ini tetap kokoh, jangan sampai ada atap yang bocor, keropos dimakan rayap atau tikus, anaku ingat pesan kami, sebentar lagi kami akan pergi meninggalkan mu, rumah Indonesia ini didirikan dengan mengorbankan jiwa dan darah leluhurmu, jangan sampai rumah Indonesia kau jual untuk kepentingan asing.”

Setelah sesi diskusi selesai selanjutnya diadakan sesi tanya dan jawab oleh peserta kepada pemateri, dan kegiatan ditutup mc.

LR

Editor: WPS

Tim FIS Media Center
Kategori: Berita