
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Jakarta, kembali meneguhkan perannya dalam penguatan internasionalisasi pendidikan Islam. Sejak Februari 2025, pada semester 122, Prodi PAI secara resmi menerima Natsumi Yamaguchi, mahasiswi asal Kanda University of International Studies (Kanda Gaigo Daigaku), Jepang, untuk mengikuti perkuliahan reguler di kelas Sejarah Peradaban Islam (SPI).
Natsumi, yang berasal dari Program Studi Bahasa Indonesia di kampusnya di Jepang, saat ini tengah menempuh program BIPA tingkat 5 di UNJ. Sebagai bagian dari pengayaan akademik , ia memilih untuk turut bergabung dalam kelas reguler Prodi PAI.
Meski mengaku mengalami kesulitan memahami istilah ilmiah dan serapan bahasa Arab dalam materi Sejarah Peradaban Islam, Natsumi menunjukkan semangat belajar yang tinggi. “Saya terbantu sekali karena Pak Fadhil menjelaskan juga dengan bahasa Inggris, dan teman-teman seperti Asaa dan Riva membantu menerjemahkan bagian yang sulit dengan bahasa yang lebih sederhana,” tuturnya.
Perbedaan sistem pembelajaran antara Indonesia dan Jepang juga menjadi pengalaman menarik bagi Natsumi. Di Jepang, pembelajaran berlangsung satu arah, di mana dosen banyak berbicara sementara mahasiswa mendengarkan. “Di PAI UNJ, saya merasakan interaksi yang hangat, diskusi aktif, dan suasana kelas yang lebih terbuka. Teman-teman juga sangat membantu saya, itu membuat saya nyaman,” ujarnya.
Selain mengikuti perkuliahan, Natsumi juga dijadwalkan mengikuti UKBI (Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia) pada 6 Juli 2025. Selama di Indonesia, ia menikmati suasana sosial yang lebih santai dibandingkan Jepang yang dikenal sangat tertib namun cenderung kaku dan penuh tekanan. Meski sempat mengalami keracunan makanan akibat jajanan jalanan, dan menghadapi polusi udara yang cukup mengganggu, Natsumi tetap menyebut Indonesia sebagai tempat belajar yang menyenangkan.
Kehadiran mahasiswa asing seperti Natsumi menjadi kebanggaan tersendiri bagi Prodi PAI UNJ. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam yang dikembangkan tidak hanya relevan secara nasional, tetapi juga terbuka, dialogis, dan siap hadir di ranah global. Kami percaya bahwa pengalaman lintas budaya ini akan menjadi bekal berharga bagi seluruh civitas akademika dalam membangun pemahaman Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
