Melangkah dengan Cahaya: Penutupan Orientasi Mobilitas PAI UNJ yang Menyalakan Kemandirian

Pada Rabu, 15 Oktober 2025, Ruang 212 Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Jakarta menjadi saksi hangatnya penutupan kegiatan Orientasi Mobilitas (OM) yang digelar oleh Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI). Suasana siang itu berbeda. Di balik senyum para mahasiswa difabel netra, para mentor, dan relawan yang hadir, tersimpan kisah perjuangan, pembelajaran, dan rasa syukur yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Kegiatan yang secara resmi ditutup oleh Wakil Dekan II FISH UNJ, Dr. Aris Munandar, bukan sekadar seremoni akhir, melainkan refleksi dari perjalanan panjang yang menumbuhkan keberanian dan kemandirian. Dalam sambutannya, Dr. Aris menegaskan bahwa PAI UNJ telah membuktikan komitmen nyata terhadap pendidikan inklusif.

Berbeda dari kegiatan orientasi biasanya yang hanya mengenalkan ruang-ruang kampus, OM versi PAI UNJ melangkah lebih jauh. Mahasiswa difabel netra tidak hanya belajar mengenali jalan, tangga, atau lift di Gedung Dewi Sartika, tetapi juga diajak menjelajah dunia luar: halte TransJakarta, stasiun kereta, dan hiruk pikuk transportasi publik Jakarta. Di sanalah mereka belajar sesuatu yang lebih besar daripada sekadar arah—mereka belajar tentang keberanian, kepercayaan, dan makna kemandirian.

Dalam sambutan penutupnya, Koordinator Prodi PAI UNJ menekankan bahwa kegiatan ini telah melahirkan perubahan karakter yang nyata. “Orientasi Mobilitas bukan hanya tentang berjalan dengan tongkat, tetapi tentang menapaki keberanian. Para peserta telah bertransformasi dari rasa takut menjadi percaya diri, dari keraguan menjadi keteguhan hati untuk mengeksplor lingkungan sekitar,” tuturnya.

Para peserta sendiri merasakan perubahan yang mendalam. Fadilah menuturkan bahwa dirinya kini lebih berani bergerak sendiri dan tidak takut tersesat. Dwi Ramadan menyebut kegiatan ini membuatnya semakin yakin menghadapi kehidupan kampus. Sementara Sirojuddin menyampaikan makna spiritual dari pengalaman tersebut: “Bergerak itu ibadah. Setiap langkah yang kami tempuh adalah bagian dari pengabdian kepada Allah.”

Dari sisi mentor dan relawan, pengalaman mereka pun tak kalah mengesankan. Fajar Trihadi, salah satu mentor, mengaku bahwa kegiatan ini mengajarkan kesabaran dan nilai musawah—kesetaraan dalam Islam. “Kami belajar bukan sekadar mendampingi, tapi juga memahami. Kemandirian tidak tumbuh dari belas kasihan, tapi dari ruang yang diberikan dengan tulus,” ujarnya. Sementara Tion Iswanto menambahkan bahwa kegiatan ini menunjukkan pentingnya kolaborasi antara mahasiswa difabel dan non-difabel dalam menciptakan suasana belajar yang manusiawi dan berkeadilan.

Para relawan pun menyuarakan pengalaman serupa. Hardini, salah satu pendamping, menuturkan bahwa mendampingi mahasiswa difabel mengajarkannya tentang kesabaran dan empati yang tumbuh dari hati. “Kami belajar membantu tanpa mengambil alih. Membiarkan mereka mencoba adalah bentuk penghormatan terhadap kemandirian,” katanya dengan mata berbinar. Syifa Fajriyah menambahkan bahwa pengalaman ini membuka matanya tentang makna toleransi sejati. “Kami tidak menolong karena mereka lemah, tapi karena kami semua sama-sama belajar menjadi kuat.”

Kegiatan ditutup dengan refleksi bersama yang diwarnai harapan besar. Ketua Pelaksana, Ketua Redis, dan Ketua BEMP PAI menyampaikan keinginan agar Orientasi Mobilitas menjadi agenda tahunan di Fakultas. Mereka berharap kegiatan ini dapat terus dikembangkan, melibatkan lebih banyak mahasiswa, dan menjadi bagian dari sistem pembelajaran inklusif di kampus.

Hari itu, di Ruang 212, setiap orang pulang dengan hati penuh makna. Tidak ada lagi batas antara yang disebut “difabel” dan “non-difabel”. Yang tersisa hanyalah manusia-manusia yang saling belajar menghargai, membantu, dan memahami. Orientasi Mobilitas membuktikan bahwa pendidikan agama bukan hanya teori di ruang kuliah, tetapi wujud nyata dari ajaran Islam tentang rahmah, adl, dan musawah—kasih sayang, keadilan, dan kesetaraan.

Kegiatan ditutup dengan doa bersama. Udara sore yang tenang mengiringi langkah para peserta meninggalkan ruangan. Mereka tidak hanya berjalan dengan tongkat, tapi juga dengan keyakinan baru—bahwa setiap langkah adalah ibadah, dan setiap arah yang mereka pilih adalah jalan menuju kemandirian yang bermartabat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Company

Our ebook website brings you the convenience of instant access to a diverse range of titles, spanning genres from fiction and non-fiction to self-help, business.

Features

Most Recent Posts

eBook App for FREE

Lorem Ipsum is simply dumy text of the printing typesetting industry lorem.

Category

Company

About Us

FAQs

Contact Us

Terms & Conditions

Privacy Policy

Features

Copyright Notice

Mailing List

Social Media Links

Help Center

Products

Sitemap

New Releases

Best Sellers

Newsletter

Contact us

Mailing

Privacy Policy

Mailing List

© 2025 Islamic Religious Education Departement