Jakarta, Jumat 17 Oktober 2025 — Ruang Dewi Sartika 1014 Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNJ menjadi saksi lahirnya semangat baru dalam memahami zakat sebagai instrumen keadilan sosial. Kegiatan Praktisi Mengajar Fikih Zakat menghadirkan dua narasumber inspiratif: M. Chudlori Umar, M.A., yang mengulas tema Zakat dan Keadilan Sosial, serta Eka Napisah, S.Ag., M.Hum., Koordinator BAZNAS Bazis Jakarta Timur, yang membahas Tata Kelola Zakat yang Amanah dan Profesional.
Acara ini bukan sekadar kajian fikih, tetapi forum pembentukan kesadaran sosial. M. Chudlori Umar membuka sesi dengan refleksi mendalam bahwa zakat bukan hanya ritual tahunan, tetapi sistem sosial ilahiah yang menegakkan keadilan. Ia menekankan pentingnya umat Islam menjadi produktif, cerdas, dan kreatif dalam mencari serta menyalurkan rezeki, sebab “zakat tidak berhenti pada memberi, tetapi pada menghidupkan yang lain.” Peserta diajak memahami zakat sebagai jalan transformasi diri dan masyarakat—menghapus kesenjangan dan meneguhkan solidaritas.
Perwakilan Baznas Bazis Jakarta Timur melanjutkan dengan penjelasan konkret tentang tata kelola zakat di BAZNAS Bazis Jakarta Timur. Ia memperkenalkan prinsip Aman Syar’i, Aman Regulasi, dan Aman NKRI sebagai pondasi akuntabilitas lembaga. Zakat, menurutnya, harus dikelola secara transparan dan berdampak luas—tidak hanya untuk bantuan konsumtif, tetapi juga pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan kemanusiaan. Mahasiswa diajak memahami bahwa zakat dapat menjadi motor perubahan sosial bila dikelola dengan integritas dan keikhlasan.
Dari sesi refleksi, tampak perbedaan pola pandang antara mahasiswa banin dan banat. Para banin menyoroti zakat dari sisi normatif dan sistemik. Mereka melihat zakat sebagai perintah syar’i dan instrumen keadilan struktural, yang menuntut kepemimpinan sosial dan lembaga zakat yang kuat. Beberapa menulis bahwa zakat adalah “jalan membangun peradaban Islam yang berkeadilan,” dan mereka terinspirasi untuk berperan dalam penguatan kelembagaan zakat di masa depan.
Sementara itu, banat menunjukkan refleksi yang lebih empatik dan humanis. Mereka memandang zakat sebagai ibadah hati yang melatih keikhlasan dan empati. Banyak yang menulis bahwa zakat adalah “cara sederhana Islam mengajarkan cinta kasih,” serta menumbuhkan kesadaran bahwa dalam setiap harta ada hak orang lain. Beberapa juga terinspirasi dengan kisah program BAZNAS—seperti bedah rumah, tebus ijazah, dan beasiswa zakat—yang mereka sebut sebagai “zakat yang membuka pintu masa depan”.
Kegiatan ini menegaskan bahwa fikih zakat bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang kemanusiaan. Mahasiswa belajar bahwa keadilan sosial tidak tercapai hanya dengan doa, tetapi melalui tindakan nyata—memberi, menolong, dan memberdayakan. Dari ruang Dewi Sartika 1014, semangat itu menyala. Mahasiswa PAI UNJ, baik banin maupun banat, membawa pulang satu pesan yang sama: bahwa menunaikan zakat berarti menegakkan keadilan dan menyalakan peradaban.
