Sebagai bagian dari mata kuliah Teologi Islam, Prodi PAI FISH Universitas Negeri Jakarta menyelenggarakan Seminar Teologi x Internship 2025 pada Senin, 15 Desember 2025, di Aula Ki Hajar Dewantara lantai 8. Kegiatan ini diikuti mahasiswa PAI angkatan 2025 dan berlangsung lancar, reflektif, serta kontekstual dengan tantangan zaman.
Mengusung tema “Reinterpretasi Teologi Islam di Era Digital untuk Membangun Toleransi Antarumat Beragama”, seminar ini menghadirkan dua narasumber utama: Satibi, S.Th.I., M.Pd. dan M. Ridwan Effendi, M.Ud. Keduanya mengajak mahasiswa membaca ulang teologi—bukan sebagai wacana abstrak, melainkan sebagai daya etik yang bekerja di ruang sosial dan digital.
Pada sesi awal, Dr. Ridwan Effendi memaparkan potret keberagamaan Indonesia sebagai masyarakat majemuk dengan mayoritas Muslim. Ia menegaskan kembali Tri Kerukunan Beragama sebagai fondasi hidup bersama. Data demografis memperlihatkan pergeseran tantangan: dominasi masyarakat urban dan generasi muda memindahkan praktik toleransi ke ruang digital. Pesannya tegas. Teologi tidak boleh berhenti pada ranah individualistik atau sebatas hablum minallah. Teologi harus merespons isu sosial dan lingkungan. Agama hadir untuk kemaslahatan. Merusak alam berarti mengabaikan amanah Ilahi. Sikap eksklusif hanya melahirkan pengucilan; inklusivitas adalah keharusan.
Sesi berikutnya, Ustadz Satibi menyoroti Artificial Intelligence (AI) sebagai realitas yang tak terelakkan bagi mahasiswa PAI. Sikap yang dibutuhkan bukan penolakan, melainkan pengarahan. AI dapat menjadi alat kebaikan jika digunakan bijak. Namun, ia memberi rambu penting: belajar agama wajib bersanad dan berbasis referensi sahih. Kemudahan AI dan internet tidak menggantikan otoritas guru dan kitab yang valid. Media sosial dan AI tidak boleh menjadi satu-satunya rujukan agar pemahaman keagamaan tidak jatuh menjadi dangkal.
Sebagai bagian integral dari pembelajaran Teologi Islam, seminar ini menegaskan orientasi PAI FISH UNJ: membentuk mahasiswa yang kritis dan beradab, inklusif tanpa kehilangan pijakan, serta melek teknologi tanpa mengorbankan kedalaman ilmu. Penutup kegiatan menguatkan komitmen bersama—menjalani agama secara terbuka, menjunjung kemanusiaan, dan meneguhkan cinta tanah air. Inilah teologi yang hidup. Membumi. Relevan. Bertanggung jawab di era digital.



