Kamis, 4 Desember 2025, Ruang Rapat 212 Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum UNJ menjadi ruang pertemuan gagasan. Para dosen Prodi PAI UNJ hadir lengkap, didampingi perwakilan mahasiswa, alumni, stakeholder, serta perwakilan APPKI (Asosiasi Prodi Pendidikan Keagamaan Islam di Perguruan Tinggi Umum), Dr Agus Fakhrudin, M.Pd, Ketua 1 APPKI dan dosen tamu dari UPI, Dr. Wawan Hermawan, M.Ag. Suasana yang terbentuk bukan sekadar formalitas akademik, tetapi sebuah dialog mendalam tentang masa depan pendidikan agama Islam di perguruan tinggi.
Workshop ini digelar untuk satu tujuan strategis: menganalisis dan memperbarui Profil Lulusan Prodi PAI UNJ agar selaras dengan kebutuhan zaman, tuntutan profesi, serta standar kurikulum asosiasi—baik APPKI maupun PPPAI. Kegiatan ini menjadi bukti bahwa kurikulum bukan dokumen statis, melainkan organisme hidup yang harus selalu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat, perkembangan pedagogi, serta tantangan keberagamaan kontemporer.
Sejak awal kegiatan, para peserta menyadari bahwa diskusi ini menyentuh inti identitas prodi: siapa lulusan PAI UNJ seharusnya? Apa kompetensi yang harus mereka miliki? Bagaimana mereka bisa relevan di tengah dunia yang berubah cepat, namun tetap memegang teguh nilai-nilai Islam dan karakter pendidik profesional?
Dosen-dosen memberikan pandangan dari sudut keilmuan masing-masing: fikih, Al-Qur’an Hadis, pendidikan Islam, psikologi Islam, metodologi penelitian, hingga teknologi pembelajaran. Mereka membedah kebutuhan kompetensi masa kini—literasi keagamaan yang inklusif, kemampuan pedagogis adaptif, kapasitas riset yang kuat, dan kepekaan terhadap keberagaman sosial-keagamaan masyarakat Indonesia.
Perwakilan mahasiswa menyampaikan pengalaman pembelajaran yang mereka jalani dan kebutuhan nyata yang mereka hadapi dalam dunia digital dan budaya generasi muda. Alumni menambahkan refleksi tentang tantangan di lapangan—bagaimana menjadi guru PAI yang relevan, komunikatif, dan mampu menjadi jembatan moderasi di sekolah-sekolah multikultural.
Stakeholder memberi masukan dari perspektif dunia kerja: kebutuhan guru yang tidak hanya menguasai materi agama, tetapi juga memiliki kemampuan interpersonal, kepemimpinan, literasi digital, dan kemampuan membangun iklim keberagamaan yang sehat di lembaga pendidikan.
Perwakilan APPKI memperkuat arah diskusi dengan menggarisbawahi pentingnya keselarasan nasional. Kurikulum prodi PAI di perguruan tinggi umum harus mengikuti standar asosiasi agar menghasilkan lulusan yang sebanding dalam mutu, namun tetap memiliki kekhasan sesuai karakter kelembagaan. Sementara itu, dosen dari UPI memberikan wawasan komparatif tentang implementasi kurikulum berbasis capaian pembelajaran di kampus mereka, memberikan inspirasi bagi UNJ untuk memperkuat integrasi antara kompetensi akademik, pedagogik, dan profesionalitas.
Diskusi berjalan intens. Profil Lulusan dianalisis lapis demi lapis: kompetensi utama, pendukung, dan lainnya. Para peserta berupaya memastikan bahwa lulusan PAI UNJ memiliki identitas yang kokoh—ilmiah dalam nalar, moderat dalam sikap, inklusif dalam relasi sosial, dan profesional dalam praktik kependidikan.
Pada satu titik, suasana diskusi berubah lebih reflektif. Peserta menyadari bahwa pengembangan kurikulum bukan hanya menyusun struktur mata kuliah, tetapi merumuskan masa depan. Di balik setiap rumusan kompetensi, tersimpan harapan lahirnya generasi pendidik PAI yang mampu mencerdaskan, memediasi, dan membangun ruang keberagamaan yang damai di tengah keberagaman Indonesia.
Kegiatan ditutup dengan komitmen bersama untuk melanjutkan penyusunan dokumen kurikulum secara lebih rinci. Namun lebih dari itu, workshop ini meninggalkan kesadaran bahwa kurikulum yang baik lahir dari kolaborasi. Ia tumbuh dari pertemuan gagasan dosen, pengalaman mahasiswa, refleksi alumni, kebutuhan dunia kerja, dan arah kebijakan asosiasi nasional.
Pada hari itu, Ruang 212 menjadi saksi bahwa Prodi PAI UNJ sedang meneguhkan langkahnya. Dengan keterbukaan, keberanian, dan komitmen akademik, prodi ini bergerak merumuskan kurikulum yang tidak hanya mengikuti zaman, tetapi membentuk peradaban belajar yang lebih manusiawi, lebih inklusif, dan lebih berdaya.




