Dari Aula Latief untuk Dunia: Saat Mesir, Indonesia, dan Komunikasi Antarbudaya Bertemu dalam Satu Ruang Akademik

Aula Latief Universitas Negeri Jakarta, Kamis 27 November 2025 pukul 10.00 WIB, tidak sekadar menjadi ruang pertemuan akademik. Ia menjelma menjadi ruang perjumpaan peradaban. Studium General kolaborasi UNJ dan Kedutaan Besar Mesir bertema “Preserving the Past, Inspiring the Future: Inside the Grand Egyptian Museum” menghadirkan lebih dari sekadar kisah museum. Ia menghadirkan pelajaran hidup tentang komunikasi antarbudaya yang nyata, jujur, dan membekas bagi mahasiswa PAI Kelas A dan B Angkatan 2023.

Duta Besar Mesir, H.E. Mr. Yasser Hassan Farag Elshemy, membuka wawasan mahasiswa tentang Grand Egyptian Museum bukan sebagai bangunan megah semata, tetapi sebagai simbol diplomasi budaya dan jembatan peradaban dunia. Sejarah, menurutnya, tidak boleh membeku di masa lalu. Ia harus hidup, menginspirasi, dan diwariskan melalui pendidikan, seni, teknologi, kurikulum, hingga media digital mutakhir. Di titik ini, mahasiswa melihat langsung bagaimana budaya bekerja sebagai soft power, sebagai cara sebuah bangsa berbicara kepada dunia tanpa senjata, tanpa paksaan.

Namun pembelajaran terbesar justru tidak hanya lahir dari isi materi, melainkan dari proses komunikasi itu sendiri. Mahasiswa Kelas A dan B secara jujur mencatat bahwa hambatan bahasa menjadi tantangan utama. Bahasa Arab dan Inggris yang digunakan pemateri tidak selalu mudah dipahami seluruh audiens. Artikulasi cepat, intonasi yang kadang kurang jelas, hingga keterbatasan penerjemahan di awal sesi membuat sebagian mahasiswa mengalami kebingungan, kehilangan fokus, bahkan kejenuhan. Inilah intercultural miscommunication yang selama ini hanya mereka jumpai dalam buku teks, kini hadir nyata di hadapan mata.

Namun di tengah keterbatasan itu, pembelajaran tidak runtuh. Moderator tampil sebagai aktor kunci pengelola makna, menjembatani perbedaan bahasa, menyederhanakan pesan, menenangkan suasana, dan menghidupkan kembali ritme dialog. Tepuk tangan audiens, senyum panitia, dan kesabaran bersama menjadi perangkat sosial yang meredam potensi gesekan. Mahasiswa belajar bahwa konflik komunikasi tidak selalu hadir dalam bentuk pertengkaran, tetapi sering hadir sebagai kebingungan kecil, canggung, salah tangkap, dan jeda-jeda sunyi yang harus dikelola dengan empati.

Mahasiswa juga mencermati secara tajam etika diplomatik dan bahasa tubuh lintas budaya. Sebagian mencatat sikap pembicara yang terkesan kaku di awal, minim sapaan, serta gestur yang berbeda dengan kebiasaan lokal. Namun mereka juga melihat dengan jernih bagaimana Dubes Mesir menjaga sensitivitas saat berbicara tentang sejarah, artefak, dan identitas bangsa. Diksi yang digunakan netral. Tidak ada klaim berlebihan. Tidak ada nada superioritas. Sejarah Mesir dibingkai sebagai warisan peradaban dunia, bukan milik eksklusif satu negara. Di sinilah mahasiswa menyaksikan langsung bagaimana etika komunikasi bekerja lebih kuat daripada retorika.

Momen paling kuat justru hadir di akhir acara. Dubes Mesir berdiri menjawab pertanyaan mahasiswa. Ia menjaga kontak mata. Ia tersenyum. Ia bersedia bersalaman dan berfoto bersama mahasiswa tanpa jarak kaku diplomasi. Hierarki sosial runtuh oleh kesederhanaan sikap. Mahasiswa Kelas B mencatat momen ini sebagai bukti bahwa komunikasi antarbudaya yang berhasil selalu berakar pada penghormatan kemanusiaan.

Pernyataan bahwa masyarakat Mesir merasa nyaman di Indonesia karena kedekatan nilai sosial dan keagamaan juga meninggalkan kesan mendalam. Kisah tentang Kampung Indonesia di Mesir menjadi simbol bahwa perbedaan negara tidak selalu berarti jarak budaya. Di titik ini, mahasiswa menyadari bahwa kesamaan nilai mampu menjembatani perbedaan simbol, bahasa, dan kebiasaan.

Bagi Kelas A, forum ini menghidupkan teori tentang konflik, facework, dan pengelolaan persepsi lintas budaya. Bagi Kelas B, acara ini memperdalam pemahaman tentang kode verbal–nonverbal, high-context culture, identitas budaya, dan adaptasi komunikasi. Namun keduanya tiba pada satu kesimpulan yang sama: komunikasi lintas budaya menuntut lebih dari sekadar kecakapan bahasa. Ia menuntut empati, kesabaran, kesadaran etis, dan kemampuan membaca situasi.

Studium General ini akhirnya tidak hanya menambah pengetahuan mahasiswa tentang Mesir dan Grand Egyptian Museum. Ia menumbuhkan kesadaran baru sebagai warga dunia. Mahasiswa pulang dengan pemahaman bahwa di tengah perbedaan budaya, yang paling menentukan bukanlah seberapa fasih seseorang berbicara, melainkan seberapa tulus ia menghormati yang berbeda.

Dari Aula Latief, lahir pelajaran besar bahwa masa depan global tidak dibangun oleh siapa yang paling keras berbicara, tetapi oleh siapa yang paling mampu mendengar, memahami, dan menghargai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Company

Our ebook website brings you the convenience of instant access to a diverse range of titles, spanning genres from fiction and non-fiction to self-help, business.

Features

Most Recent Posts

eBook App for FREE

Lorem Ipsum is simply dumy text of the printing typesetting industry lorem.

Category

Company

About Us

FAQs

Contact Us

Terms & Conditions

Privacy Policy

Features

Copyright Notice

Mailing List

Social Media Links

Help Center

Products

Sitemap

New Releases

Best Sellers

Newsletter

Contact us

Mailing

Privacy Policy

Mailing List

© 2025 Islamic Education Study Program