Demonstrasi Pati: Krisis Komunikasi & Legitimasi Kepemimpinan Daerah
Oleh: Dini Safitri
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Jakarta
Demonstrasi besar-besaran yang terjadi di Kabupaten Pati pada 13 Agustus 2025 merupakan respons kolektif terhadap kebijakan publik yang dianggap tidak partisipatif dan menimbulkan beban ekonomi. Aksi ini tidak hanya menuntut pembatalan kebijakan, tetapi juga menyoroti krisis legitimasi kepemimpinan daerah.
Di tengah hiruk-pikuk pembangunan dan modernisasi, suara-suara dari daerah seperti Pati sering kali tenggelam dalam narasi besar yang dibentuk dari pusat. Namun hari ini, Pati tidak diam. Warga turun ke jalan, bukan sekadar untuk menolak, tetapi untuk didengar. Warga Pati berdiri di depan kantor pemerintah, mereka membawa lebih dari sekadar spanduk dan orasi. Mereka membawa keresahan, harapan, dan tuntutan akan keadilan yang selama ini mungkin terabaikan. Diantaranya soal alih fungsi lahan, proyek strategis nasional, dan kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat lokal.
Demonstrasi bukanlah sekadar aksi massa. Ia adalah ekspresi demokrasi yang lahir sebagai cermin dari ketidakseimbangan komunikasi antara pengambil kebijakan dan penerima dampak. Ketika warga merasa tidak dilibatkan, maka jalanan menjadi ruang dialog terakhir. Gerakan warga di jalanan bukan ancaman, melainkan pengingat sosial. Pembangunan yang berkelanjutan harus dimulai dari partisipasi, bukan pemaksaan. Bahwa kebijakan yang baik bukan hanya yang efisien, tetapi juga yang harus memenuhi rasa adilan untuk masyarakat.
Menurut Habermas (1984), ruang publik ideal adalah tempat di mana warga negara dapat berdialog secara rasional untuk mempengaruhi kebijakan. Namun, dalam praktiknya, ruang publik tersebut sering kali tertutup oleh dominasi teknokratis dan kepentingan ekonomi. Demonstrasi di Pati menunjukkan bahwa ketika kanal partisipatif formal tidak efektif, maka ruang jalanan menjadi alternatif artikulatif yang sah.
Isu yang melatarbelakangi demonstrasi di Pati menunjukkan adanya ketimpangan relasi kuasa antara negara dan warga. Pembangunan yang tidak berbasis partisipasi, memunculkan resistensi. Warga Pati sejatinya tidak menolak pembangunan secara mutlak, melainkan menuntut keadilan prosedural dan substansial.
Aksi demonstrasi di Pati dapat dibaca sebagai sinyal kegagalan komunikasi kebijakan. Pemerintah daerah dan pusat perlu membangun mekanisme konsultasi publik yang inklusif, berbasis data, dan responsif terhadap dinamika lokal. Selain itu, pendekatan pembangunan harus bergeser dari model top-down menuju model komunikasi yang kolaboratif dan mengakui pengetahuan warga sebagai bagian dari proses perencanaan.
Demonstrasi di Pati bukanlah gangguan terhadap stabilitas keamanan daerah, melainkan ekspresi politik yang sah dalam negara demokratis. Pada demonstran membuat publik untuk melakukan refleksi ulang mengenai relasi antara negara, warga, dan pembangunan. Dalam kerangka akademik, aksi ini menjadi studi kasus penting tentang bagaimana masyarakat lokal mengklaim ruang politiknya di tengah arus modernisasi.
Demonstrasi ini mencerminkan kegagalan komunikasi pemimpin daerah dalam membuat kebijakan dan minimnya partisipasi publik dalam proses perumusan kebijakan daerah. Dalam kerangka teori good governance, ada elemen transparansi dan akuntabilitas yang menjadi prasyarat utama bagi legitimasi kebijakan. Ketika kebijakan daerah seperti menaikan pajak yang dilakukan tanpa konsultasi publik yang memadai, maka yang terjadi adalah resistensi sosial dari masyarakat.
Demonstrasi yang berlangsung di Kabupaten Pati bukan sekadar peristiwa sosial, melainkan representasi politik lokal yang mencerminkan ketegangan antara kebijakan pembangunan dan aspirasi masyarakat. Dalam konteks demokrasi deliberatif, aksi warga ini dapat dipahami sebagai bentuk artikulasi kepentingan yang belum terakomodasi dalam proses formal pengambilan keputusan.
Untuk itu, pemimpin daerah Pati perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan yang memicu konflik, termasuk proyek renovasi dan digitalisasi (videotron). Dalam evaluasi tersebut perlu melibatkan lembaga independen dan akademisi lokal dalam proses audit. Penting juga membuat Public Hearing rutin antara pemerintah daerah dan perwakilan komunitas, termasuk tokoh agama, perempuan, dan pemuda. Pimpinan dapat menggunakan pendekatan deliberatif untuk menyusun kebijakan yang inklusif. Untuk keterbukaan informasi kepada publik dapat dilakukan publikasi yang berisikan informasi mengenai rincian anggaran proyek daerah secara terbuka melalui website resmi dan media sosial pemerintah daerah. Selain itu terdapat mekanisme pengawasan partisipatif berbasis komunitas terhadap kinerja pemerintah daerah.
Demonstration in Pati: Communication Crisis & Legitimacy of Local Leadership
By: Dini Safitri
Lecturer in Communication Studies at Universitas Negeri Jakarta
The large-scale demonstration that took place in Pati Regency on August 13, 2025, was a collective response to public policies that were considered non-participatory and caused economic hardship. This action not only demanded the revocation of the policy but also highlighted the crisis of legitimacy in local leadership.
Amid the clamor of development and modernization, voices from regions like Pati often get lost in the larger narrative shaped by the central government. However, today, Pati is not silent. Residents took to the streets, not merely to reject, but to be heard. The people of Pati stand in front of government offices, carrying more than just banners and speeches. They carry their concerns, hopes, and demands for justice that may have been overlooked. Among these are issues related to land use conversion, national strategic projects, and policies deemed unfavorable to local communities.
Demonstrations are not merely mass actions. It is an expression of democracy born as a reflection of the imbalance in communication between policymakers and those affected by their decisions. When residents feel excluded, the streets become the last space for dialogue. The movement of residents on the streets is not a threat but a social reminder. Sustainable development must begin with participation, not coercion. Good policies are not only efficient but must also fulfill the sense of justice for the community.
According to Habermas (1984), the ideal public space is where citizens can engage in rational dialogue to influence policy. However, in practice, such public spaces are often closed off by technocratic dominance and economic interests. The demonstrations in Pati show that when formal participatory channels are ineffective, the streets become a legitimate alternative for articulation.
The issues underlying the demonstrations in Pati reveal an imbalance of power between the state and its citizens. Development that is not based on participation gives rise to resistance. The people of Pati do not reject development outright, but demand procedural and substantive justice.
The demonstrations in Pati can be interpreted as a sign of failed policy communication. Local and central governments need to establish inclusive, data-driven, and responsive public consultation mechanisms that account for local dynamics. Additionally, the approach to development must shift from a top-down model toward a collaborative communication model that acknowledges citizens’ knowledge as part of the planning process.
The demonstrations in Pati are not a disruption to local security stability but a legitimate political expression in a democratic state. The demonstrators have prompted the public to rethink the relationship between the state, citizens, and development. In an academic framework, this action is an important case study of how local communities claim their political space amid the tide of modernization.
This demonstration reflects the failure of local leaders to communicate their policies and the lack of public participation in the formulation of local policies. Within the framework of good governance theory, transparency and accountability are key prerequisites for policy legitimacy. When regional policies such as tax increases are implemented without adequate public consultation, social resistance from the community ensues.
The demonstrations in Pati District are not merely social events but rather local political representations reflecting the tension between development policies and community aspirations. In the context of deliberative democracy, this citizen action can be understood as a form of articulating interests that have not been accommodated in the formal decision-making process. Therefore, Pati‘s local leaders need to conduct a comprehensive evaluation of the policies that triggered the conflict, including the renovation and digitization (videotron) projects. This evaluation should involve independent institutions and local academics in the audit process. It is also important to hold regular public hearings between the local government and community representatives, including religious leaders, women, and youth. Leaders can use a deliberative approach to formulate inclusive policies. For transparency of information to the public, information regarding the details of the regional project budget can be published openly through the official website and social media of the local government. Additionally, there is a community-based participatory oversight mechanism for the performance of the local government.