Antara Fakta dan Hoaks: Mengurai Konflik Naratif Korban Demo Pati
Oleh: Dini Safitri
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Jakarta
Demonstrasi yang berlangsung di Pati, 13 Agustus 2025, tidak hanya mengguncang ruang publik, tetapi juga menciptakan gelombang informasi yang saling bertabrakan. Di tengah tuntutan masyarakat atas keadilan dan transparansi, muncul kabar bahwa ada tiga orang tewas dalam aksi tersebut. Menurut kabar yang beredar, korban yang tewas adalah dua orang remaja dan seorang jurnalis. Kabar ini disampaikan oleh anggota DPRD dan sejumlah warga melalui media sosial. Namun, aparat kepolisian dan Dinas Kesehatan Kabupaten Pati segera membantah kabar tersebut, menyatakan bahwa tidak ada korban jiwa berdasarkan data rumah sakit dan laporan resmi.
Kesimpangsiuran kabar tersebut bukan sekadar persoalan komunikasi. Hal ini mencerminkan krisis kepercayaan antara masyarakat dan aparat negara. Ketika ada warga yang menyampaikan kesaksian langsung, namun dibantah oleh aparat, dengan tidak melakukan investigasi terbuka, maka ruang publik menjadi medan konflik naratif. Akan terjadi benturan dalam berbagai versi kabar atau beriata dan klaim kebenaran yang disampaikan oleh pihak-pihak yang berbeda. Versi berita tersebu akan menjadi narasi yang bersaing untuk mendapatkan legitimasi di mata publik. Ketika publik tidak lagi yakin pada sumber informasi resmi, maka narasi alternatif, meskipun belum terverifikasi, bisa lebih dipercaya. Namun diatu sisi, konflik naratif ini juga akan membuat publik binggung dan akan memperbesar polarisasi antara warga dan aparat. Di sinilah pentingnya membedakan antara disinformasi, misinformasi, dan kebenaran yang tertunda.
Diinformasi adalah informasi yang salah dan disebarkan secara sengaja untuk menipu dan memanipulasi. Sedangkan misinformasi adalah informasi yang salah, namun disebarkan tanpa niat jahat, Namun hal ini tetap bisa menyesatkan publik, sehingga perlu untuk melakukan cek dan ricek atas informasi. Sedangkan kebenaran yang tertunda adalah informasi yang benar, tapi datangnya terlambat. Informasi yang benar baru datang setelah disinformasi dan misinformasi sudah menyebar luas.
Dalam konteks demokrasi lokal terkait konflik naratif, transparansi bukan hanya soal menyampaikan data, tetapi juga membuka proses. Pemerintah daerah dan aparat seharusnya tidak sekadar membantah, tapi juga bergerak cepat untuk membentuk tim investigasi independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil, akademisi, dan media. Dengan begitu, klarifikasi yang diberikan kepada Masyarakat tidak menjadi alat pembungkaman, melainkan sarana yang menghantarkan kepada rekonsiliasi.
Apalagi dalam hal ini menyangkut kabar kematian dalam demonstrasi. Kabar tersebut bukanlah hal yang sepele. Kabar tersebut menyangkut hak Masyarakat untuk hidup, hak mendapatkan integritas informasi, dan adanya unsur tanggung jawab negara atas keselamatan warga. Jika benar ada korban jiwa, maka negara wajib memberikan keadilan dan pemulihan sosial. Jika tidak, maka klarifikasi harus dilakukan secara terbuka, dengan bukti yang dapat diverifikasi publik (transparan). Sayangnya, dalam kasus Pati, belum ada mekanisme itu yang berjalan secara sistematis.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu meningkatkan literasi informasi. Mayarakat perlu dipahamkan untuk membedakan antara fakta, hoaks, dan konflik naratif. Terlebih lagi, dalam era digital, kecepatan menyebarkan kabar atau berita sering kali mengalahkan akurasi. Video viral, potongan siaran langsung, dan narasi emosional dengan mudah tersebar dan langung dapat membentuk opini publik, meski belum tentu berbasis fakta. Namun, menyalahkan masyarakat tanpa menyediakan kanal verifikasi yang mudah diakses, juga akan memperparah polarisasi.
Kesimpangsiuran ini menunjukkan bahwa kita belum memiliki sistem komunikasi krisis yang inklusif dan terpercaya. Pemerintah daerah perlu membangun protokol komunikasi publik yang responsif. Dalam kasus Pati, ini diperlukan aparat yang membuka kanal informasi resmi yang aktif di media sosial dan situs web pemerintah, menyediakan laporan harian selama masa krisis, termasuk data korban, penanganan medis, dan proses hukum. Selain itu, apparat juga aktif untuk melibatkan jurnalis lokal dan nasional dalam konferensi pers terbuka, bukan hanya rilis satu arah dan menyediakan ruang dialog antara warga dan aparat, baik secara daring maupun luring.
Lebih dari sekadar membahas benar atau tidaknya kabar kematian dari tiga orang tersebut, kita perlu melihat akar persoalan masalah ini, yaitu minimnya akuntabilitas dan partisipasi dalam pengelolaan konflik sosial. Adanya demonstrasi adalah ekspresi politik yang sah. Ketika terjadi benturan, maka negara harus hadir bukan sebagai penyangkal, tetapi sebagai pemulih sosial.
Jika dibiarkan, kabut informasi ini akan terus menebal, menciptakan ketakutan, kecurigaan, dan fragmentasi sosial. Sebaliknya, jika ditangani dengan transparansi dan empati, maka Pati bisa menjadi contoh bagaimana demokrasi lokal tumbuh dari keberanian untuk mengakui, memperbaiki, dan melindungi.
Dalam masyarakat yang sehat, kebenaran bukan milik satu pihak. Ia lahir dari proses kolektif yang terbuka, jujur, dan berpihak pada kemanusiaan. Sudah saatnya kita berhenti membenturkan narasi, dan mulai membangun mekanisme verifikasi yang adil dan inklusif.
Between Facts and Hoaxes: Unraveling the Narrative Conflict of Pati Demo Victims
By: Dini Safitri
Lecturer in Communication Science at Universitas Negeri Jakarta
The demonstration that took place in Pati on August 13, 2025, not only shook the public space, but also created waves of conflicting information. In the midst of people’s demands for justice and transparency, news emerged that three people were killed in the action. According to rumors, the dead were two teenagers and a journalist. This news was conveyed by DPRD members and a number of residents through social media. However, the police and the Pati District Health Office immediately denied the news, stating that there were no fatalities based on hospital data and official reports.
The confusion of the news is not just a communication problem. It reflects a crisis of trust between the community and the state apparatus. When a citizen gives direct testimony, but is denied by the authorities, by not conducting an open investigation, the public space becomes a field of narrative conflict. There will be clashes in various versions of news or news and truth claims conveyed by different parties. These news versions will become competing narratives to gain legitimacy in the eyes of the public. When the public is no longer confident in official sources of information, alternative narratives, although unverified, can be more trusted. But on the one hand, this narrative conflict will also make the public confused and will increase the polarization between citizens and the authorities. This is where it is important to distinguish between disinformation, misinformation and delayed truth.
Disinformation is false information that is spread deliberately to deceive and manipulate. Misinformation, on the other hand, is information that is false, but is spread without malicious intent, but it can still mislead the public, so it is necessary to check and recheck information. Delayed truth is information that is true, but comes too late. True information only comes after disinformation and misinformation have spread widely.
In the context of local democracy related to narrative conflict, transparency is not only about conveying data, but also opening up processes. The local government and authorities should not only deny, but also move quickly to form an independent investigation team involving elements of civil society, academics and the media. That way, the clarification given to the public does not become a silencing tool, but a means that leads to reconciliation.
Especially in this case concerning the news of deaths in demonstrations. This news is not trivial. The news concerns the people’s right to life, the right to information integrity, and the state’s responsibility for the safety of citizens. If there really are fatalities, then the state is obliged to provide justice and social recovery. If not, then clarification must be made openly, with evidence that can be verified by the public (transparent). Unfortunately, in the Pati case, there is no such mechanism that runs systematically.
On the other hand, the community also needs to improve information literacy. They need to be taught to distinguish between facts, hoaxes and narrative conflicts. Moreover, in the digital era, the speed of spreading news often trumps accuracy. Viral videos, snippets of live broadcasts, and emotional narratives are easily spread and can immediately shape public opinion, even though they are not necessarily fact-based. However, blaming the public without providing easily accessible verification channels will also exacerbate polarization.
This confusion shows that we do not yet have an inclusive and reliable crisis communication system. Local governments need to build responsive public communication protocols. In the case of Pati, this required officials to open active official information channels on social media and government websites, providing daily reports during the crisis, including data on victims, medical treatment, and legal processes. In addition, the authorities were also active in engaging local and national journalists in open press conferences instead of one-way releases and providing spaces for dialogue between citizens and authorities, both online and offline.
More than just discussing whether or not the news of the deaths of the three people is true, we need to look at the root cause of this problem, which is the lack of accountability and participation in social conflict management. Demonstrations are legitimate political expressions. When clashes occur, the state must be present not as a denier, but as a social restorer.
If left unchecked, this information fog will continue to thicken, creating fear, suspicion and social fragmentation. Conversely, if handled with transparency and empathy, Pati can be an example of how local democracy grows from the courage to acknowledge, repair and protect.
In a healthy society, truth does not belong to one party. It is born from a collective process that is open, honest, and in favor of humanity. It is time to stop clashing narratives, and start building fair and inclusive verification mechanisms.
This article can also be read at: https://www.liputan6.com/opini/read/6133718/antara-fakta-dan-hoaks-mengurai-konflik-naratif-korban-demo-pati